Sejarah Tari Guel Dari Dataran Tinggi Gayo

"seorang pria gayo sedang memperagakan tari Guel"
C:Google

       KUTACANE (17/11/13) TARI GUEL adalah salah satu khasanah budaya Gayo di Aceh. Guel berarti membunyikan. Khususnya di daerah dataran tinggi gayo(Aceh Tengah, Bener Meriah, Dan Gayo Lues),  tarian ini memiliki kisah panjang dan unik. Para peneliti dan koreografer tari mengatakan tarian ini bukan hanya sekedar tari. Dia merupakan gabungan dari seni sastra, seni musik dan seni tari itu sendiri. Dalam perkembangannya, tari Guel timbul tenggelam, namun Guel menjadi tari tradisi terutama dalam upacara adat tertentu. Guel sepenuhnya apresiasi terhadap wujud alam, lingkungan kemudian dirangkai begitu rupa melalui gerak simbolis dan hentakan irama. Tari ini adalah media informatif. Kekompakan dalam padu padan antara seni satra, musik/suara, gerak memungkinkan untuk dikembangkan (kolaborasi) sesuai dengan semangat zaman, dan perubahan pola pikir masyarakat setempat. Guel tentu punya filosofi berdasarkan sejarah kelahirannya. Maka rentang 90-an tarian ini menjadi objek penelitian sejumlah surveyor dalam dan luar negeri.


Pemda Daerah Istimewa Aceh ketika itu juga menerjunkan sejumlah tim dibawah koodinasi Depdikbud (dinas pendidikan dan kebudayaan), dan tersebutlah nama Drs Asli Kesuma, Mursalan Ardy, Drs Abdrrahman Moese, dan Ibrahim Kadir yang terjun melakukan survey yang kemudian dirasa sangat berguna bagi generasi muda, seniman, budayawan untuk menemukan suatu deskripsi yang hampir sempurna tentang tari guel.


SEJARAH TARI GUEL

"Ilustrasi Legenda Gajah Putih"
C:Google
“Tari Guel”, bermula dari riwayat pembunuhan Bener Merie oleh Raja Linge ke-XIII. Keduanya saudara satu Ayah (Johansyah). Ibu Raja Linge ke-XIII orang Gayo asli, sementara Ibu Bener Merie adalah Putri Johor. Kronologi sejarahnya jelas, tetapi ketika alur cerita itu sampai pada bab Gajah Putih yang ditemukan sedang bersimpuh di atas pusara Bener Merie, kononnya penjelmaan dari Bener Merie, berdasarkan mimpi Sengeda (saudara kandung Bener Merie yang luput dari pembunuhan berencana ini). Mimpi Sengeda benar dan tidak perlu interpretasi. Sampai sekarang, kuburan Bener Merie masih tegak berdiri, walau pun kurang perawatan dan sejarah Gajah Putih adalah juga diakui keabsahannya. Masalahnya; kebanyakan orang Gayo sudah telanjur mempercayai, bahwa “Tari Guel” adalah wujud dari legenda: Bener Merie, Sengeda dan Gajah Putih. Kekeliruan sejarah ini perlu diluruskan.

Sebenarnya, “Tari Guel” itu adalah ‘Mesium gerak tanpa bangunan’, tempat menyimpan sejarah Gayo, agar orang tidak mudah melupakannya. Hingga sekarang, masih banyak fakta sejarah Gayo tercècèr dan disimpan dalam bentuk “kekeberen”, puisi dan pantun. Hal ini bisa dimaklumi, karena keterbatasan fasilitas pada masa itu. Imaginator menafsirkan fakta sejarah tadi ke dalam gerak “Tari Guel”. Selain daripada itu, imaginator ingin mengambarkan “aurat” orang Gayo yang tak pantang membunuh saudara sendiri, jika dirasa perlu untuk itu. Riwayat pembunuhan Bener Merie oleh saudara sedarah, bukanlah satu-satunya peristiwa dalam peradaban orang Gayo. Kisah Merah Mege (anak bungsu Muyang Mersa) membuktikan bahwa: ketika enam saudara kandungnya menunaikan niat jahat dengan mengikat dan menjatuhkan adiknya ke dalam Sumur tua dalam rimba. Dengan kuasa Allah SWT, Merah Mege selamat dan tidak jadi mati. Motif pembunuhan Merah Mege dan Bener Merie semata-mata karena khawatir kehilangan pengaruh, kuasa, irihati dan dengki. Jadi, peragaan “Tari Guel” adalah penyingkapan fakta, rahasia (aurat) orang Gayo yang sungguh memalukan, mengharukan, memilukan sekaligus peringatan.

Selebihnya, imaginator ingin menitipkan pesan-pesan kehidupan yang hanya bisa ditangkap lewat pendekatan falsafah. Artinya: salam semah dalam gerak “Munatap”, “Redep”, “Ketibung”, “Kepur Nunguk”, “Sènèng Lintah”, “Sèngkèr Kalang” dan “Cincang Nangka”, selain menyinggung aspek sejarah, juga mengandung falsafah moral, eksistensialisme, humanisme, realisme, futurisme, sekaligus menghubungkannya dengan emosional, romantika, dinamika dan problematika kehidupan orang Gayo itu sendiri. Gerak “Munatap” menggambarkan eksistensi diri dan kesadaran, di mana Gajah Putih yang enggan bergeming (bersimpuh) sadar sambil menatap realitas yang asing. Eksistensi diri dan kesadaran tadi mengkristal, setelah dirangsang oleh Sengeda dengan gerak diiringi irama, yang kemudian disebut “Tari Guel” (“Tari berirama”), agar Gajah Putih bangkit bersaksi; merubah diam menjadi aksi; memecah kebekuan jiwa agar larut dan menyatu dalam kemajmukan nilai-nilai; membangunkan kematian menjadi hidup dan mewujudkan mimpi menjadi kenyataan. Pada tahap gerak “Munatap”, yang dituntut hanya kesadaran diri, pengakuan dan pengenalan secara menyeluruh. Hal ini berhubung langsung dengan karakteristik orang Gayo, pada umumnya baru sadar dan beraksi setelah dirangsang terlebih dahulu.

"Wanita Gayo Pengiring Tari Guel"
C:Google


Dalam gerak “Redep”, bahu dan tangan bergerak lentur dan bervariasi. Jari-jemari penari sesekali terbenam dalam lipatan “Opoh Ulen-ulen”. Tahap ini adalah proses belajar, meniru dan berpikir. Di sini, gerak dan irama yang dimainkan lebih cepat, walau tidak terlalu lama. Ini mengajarkan: berpikir dan gerak cepat jika mau dapat dan selamat. Gerak “Redep” lewat dan segera menuju ke gerak lain, yakni: gerak “Ketibung”, yang ditandai dengan hentakan kedua kaki berkali-kali secara bergantian ke bumi; mengangkat dan menurunkan atau memutar-mutar kedua tangan, dikombinasi dengan sorotan mata yang tajam. Inilah tahap pengetahuan dan pemahaman, di mana manusia berhadapan dengan dua pilihan: menginjak atau diinjak: membunuh atau dibunuh; Tuan atau budak; menguasai atau dikuasai (penguasa atau hamba). Kata: “ketibung” dalam bahasa Gayo, lazimnya dipakai bagi gadis-gadis yang mandi di kolam atau di sungai, membunyikan air dengan kedua tangannya; yang dalam tari ini diisyaratkan dengan variasi gerak tangan dan kaki, sebagai refleksi dari gelora pikiran dan luahan jiwa. Itu pula alasannya, hingga dalam sastera Gayo, gejolak hati kerap digambarkan dalam lirik: “berketibung iwanni jantung, berjunté iwanni até” (“bergejolak dalam jantung, bersemi dalam hati”).

Gerak “Kepur nunguk”, yang mengepak-ngepakkan “Opoh Ulen-ulen”, sambil berputar-putar, maju dan mundur. Gerakannya sangat agresif dan menantang. Tahap ini menggambarkan proses klarifikasi masalah, yang menuntut semua anasir atau “debu-debu” yang menodai supaya disingkirkan. Artinya: tangan siapa sih yang tidak kotor? Tangan kita telah mengotori negara, maruah bangsa, budaya dan bahasa. [Kata: “kepur” dalam bahasa Gayo berarti mengusir debu-debu (kotoran) yang melekat pada kain atau tikar dengan tangan, bukan dengan penyapu. Mengapa? Sebab tangan mempunyai konotasi kekuasaan yang bisa merubah, memperbaiki atau menjahannamkan.

Gerak “Sènèng Lintah” atau “Sèngkèr Kalang”, yang geraknya menggelepar, memiringkan tubuh bagaikan gerak burung Elang yang mau menyambar mangsa. Inilah gerak burung Elang yang terbang melayang, melingkar dan menukik dengan memiringkan badan untuk melihat dan memastikan posisi mangsa atau gerak lintah yang meliuk-liuk dalam air yang berarti: masalah mesti di lihat bukan dari satu arah saja, tetapi didekati dan dikaji dari berbagai sudut pandang. Kata “Sènèng” dan “Sèngkèr” dalam bahasa Gayo bermakna: melirik atau memantau dengan gerak miring. Gerak ini menggambarkan tahap/peringkat aksi, cermat, konsentrasi dan terarah.

Gerak “Cincang Nangka” merupakan rangkaian terakhir, aksi memasukkan diri ke dalam kemajemukan. Yang berarti: makna individu larut dalam kebersamaan. Yang dituntut bukan lagi keserasian gerak, melainkan penyatuan perasaan dan emosi. Tahap ini menunjukkan bahwa apa pun masalah, mesti diselesaikan dengan mengikut sertakan orang lain.

“Tari Guel”, yang dimainkan tanpa syair oleh penari tunggal diiringi irama (menabuh) Canang dan Gong, sarat dengan nilai-nila kehidupan. Ianya, dipersembahkan dalam upacara perkawinan atau menyambut tetamu agung. Sebab inilah peluang terbaik untuk menyingkap segala-galanya, mendo’akan agar bahagia dan sejahtera, yang disimbulkan dengan menabur beras-padi dan air tepung tawar oleh Pengulu Mungkur. Persembahan tari ini kepada tamu asing, hanya sekedar ingin memperlihatkan ‘inilah Gayo’ yang suka berkata: “Yang penting iman kita mesti kuat dan menjaga adat nenek moyang” dan “Adat-istidat adalah pagarnya agama”. Jadi, “Tari Guel” boleh juga dikatakan sebagai “talqin”, agar orang Gayo terangsang, bergairah dan berani bangkit bersaksi atas nama kebenaran sejarah, jika tidak ingin mampus martabat dan maruahmu.


PENARI


"Salah Satu Gerakan Tari Guel"
C:Google

Di tanah Gayo, dahulunya dikenal begitu banyak penari Guel. Seperti Syeh Ishak di Kampung Kutelintang-Pegasing, Aman Rabu di kampung Jurumudi-Bebesan, Ceh Regom di Toweren. Penari lain yang kurun waktun 1992 sampai 1993 yang waktu itu masih hidup adalah Aman Jaya-Kampung Kutelintang, Umer-Bebesen, Syeh Midin-Silih Nara Angkup, Safie-Gelu Gele Lungi-Pegasing, Item Majid-Bebesen. Mereka waktu itu rata-rata sudah berusia 60-an. Saat ini sudah meninggal sehingga alih generasi penari menjadi hambatan serius.

Walaupun ada penari yang lahir karena bakat sendiri, bukan langsung diajarkan secara teori dan praktik oleh para penari pakar seperti disebutkan, keterampilan menari mereka tak sepiawai para pendahulunya. Begitu juga pengiring penggiring musik tetabuhan seperti Rebana semakin langka, apalagi ingin menyamakan dengan seorang dedengkot almarhum Syeh Kilang di Kemili Bebesen.

Tari Guel dibagi dalam empat babakan baku. Terdiri dari babak Mu natap, Babak II Dep, Babak III Ketibung, Babak IV Cincang Nangka. Ragam Gerak atau gerak dasar adalah Salam Semah (Munatap ), Kepur Nunguk, Sining Lintah, Semer Kaleng (Sengker Kalang), Dah-Papan. Sementara jumlah para penari dalam perkembangannya terdiri dari kelompok pria dan wanita berkisar antara 8-10 ( Wanita ), 2-4 ( Pria ). Penari Pria dalam setiap penampilan selalu tampil sebagai simbol dan primadona, melambangkan aman manyak atau lintoe Baroe dan Guru Didong. Jumlah penabuh biasanya minimal 4 orang yang menabuh Canang, Gong, Rebana, dan Memong. Tari Guel memang unik, pengalaman penulis merasakan mengandung unsur dan karakter perpaduan unsur keras lembut dan bersahaja. Bila para pemain benar-benar mengusai tarian ini, terutama peran Sengeda dan Gajah Putih maka bagi penonton akan merasakan ketakjuban luar biasa. Seolah-olah terjadinya pertarungaan dan upaya memengaruhi antara Sengeda dan Gajah Putih. Upaya untuk menundukkan jelas terlihat, hingga kipasan kain kerawang Gayo di Punggung Penari seakan mengandung kekuatan yang luar biasa sepanjang taarian. Guel dari babakan ke babakan lainnya hingga usai selalu menawarkan uluran tangan seperti tarian sepasang kekasih di tengah kegundahan orang tuanya. idak ada yang menang dan kalah dalam tari ini, karena persembahan dan pertautan gerak dan tatapan mata adalah perlambang Cinta. Tapi sayang, kini tari Guel itu seperti kehilangan Induknya, karena pemerintah sangat perhatian apalagi gempuran musik hingar modern seperti Keyboard pada setiap pesta perkawinan di daerah itu.



Refrensi : 1) 
Yusra Habib Abdul Gani, Director Institute for Ethnics Civilization Research.
                  2) Wikipedia Indonesia

Post a Comment for "Sejarah Tari Guel Dari Dataran Tinggi Gayo"