[Cerpen] Anak Kebanggaan (Karya A.A Navis)
Semua orang,
tua-muda, besar-kecil, memanggilnya Ompi. Hatinya akan kecil bila dipanggil
lain. Dan semua orang tak hendak mengecilkan hati orang tua itu.
Di waktu
mudanya Ompi menjadi klerk di kantor Residen.
Maka sempatlah ia mengumpulkan harta yang lumayan banyaknya.
Semenjak istrinya meninggal dua belas tahun berselang, perhatiannya tertumpah kepada anak tunggalnya, laki-laki.
Maka sempatlah ia mengumpulkan harta yang lumayan banyaknya.
Semenjak istrinya meninggal dua belas tahun berselang, perhatiannya tertumpah kepada anak tunggalnya, laki-laki.
Mula-mula si
anak di namainya Edward. Tapi karena raja Inggris itu turun takhta
karena
perempuan, ditukarnya nama Edward jadi Ismail. Sesuai dengan nama raja Mesir
yang pertama. Ketika tersiar pula kabar, bahwa ada seorang Ismail terhukum
karena
maling dan membunuh, Ompi naik pitam.Nama anaknya seolah ikut tercemar
Dan ia
merasa terhina. Dan pada suatu hari yang terpilih menurut kepercayaan orangtua-tua,
yakin ketika bulan sedang mengambang naik,Ompi mengadakan kenduri.
Maka jadilah
Ismail menjadi Indra Budiman. Namun si anak ketagihan dengan nama
yang
dicarinya sendiri, Eddy.
Ompi jadi
jengkel. Tapi karena sayang sama anak, ia terima juga nama itu, asal ditambah
di belakangnya dengan Indra Budiman itu. Tak beralih lagi. Namun dalam hati Ompi
masih mengangankan suatu tambahan nama lagi di muka nama anaknya yang sekarang.
Calon dari
nama tambahan itu banyak sekali. Dan salah satunya harus dicapai tanpa peduli
kekayaan akan punah. Tapi itu tak dapat dicapai dengan kenduri saja. Masa dan
keadaanlah yang menentukan. Ompi yakin, masa itu pasti akan datang.
Dan ia
menunggu dengan hati yang disabar-sabarkan. Pada suatu hari yang gilang
gemilang,
angan-angannya pasti menjadi kenyataan.
Dia yakin
itu, bahwa Indra Budimannya akan mendapat nama tambahan dokter dimuka namanya
sekarang. Atau salah satu titel yang mentereng lainnya.
Ketika Ompi mulai mengangankan nama tambahan itu, diambilnya kertas dan potlot. Di tulisnya nama anaknya, dr. Indra Budiman. Dan Ompi merasa bahagia sekali. Ia yakinkan kepada para tetangganya akan cita-citanya yang pasti tercapai itu.
Ketika Ompi mulai mengangankan nama tambahan itu, diambilnya kertas dan potlot. Di tulisnya nama anaknya, dr. Indra Budiman. Dan Ompi merasa bahagia sekali. Ia yakinkan kepada para tetangganya akan cita-citanya yang pasti tercapai itu.
"Ah,
aku lebih merasa berduka cita lagi, karena belum sanggup menghindarkan
kemalangan
ini. Coba kalau anakku, Indra Budiman, sudah jadi dokter, si mati ini akan pasti
dapat tertolong," katanya bila ada orang meninggal setelah lama
menderita sakit.
Dan kalau
Ompi melihat ada orang membuat rumah, lalu ia berkata, "Ah sayang.
Rumah-rumah
orang kita masih kuno arsitekturnya. Coba kalau anakku, Indra Budiman, sudah
menjadi insinyur, pastilah ia akan membantu mereka membuat rumah yang lebih
indah."
Semenjak
Indra Budiman berangkat ke Jakarta, Ompi bertambah yakin, bahwa setahun demi
setahun segala cita-citanya pasti tercapai. Dan benarlah. Ternyata setiap semester
Indra Budiman mengirim rapor sekolahnya dengan angka-angka yang baik sekali.
Dan setiap tahun ia naik kelas. Hanya dalam tempo dua tahun, Indra Budiman menamatkan
pelajarannya di SMA seraya mengantungi ijazah yang berangka baik.
Ketika Ompi
membaca surat anaknya yang memberitakan kemajuannya itu, air mata
Ompi
berlinang kegembiraan. "Ah, Anakku," katanya pada diri sendiri,
"Aku bangga,
Anakku. Baik
engkau jadi dokter. Karena orang lebih banyak memerlukanmu.Dengan begitu kau
disegani orang. Oooo, perkara uang? tak Mengapa tiga ribu, lima ribu akan kukirim,
Anakku. Mengapa tidak?"
Dan semenjak
itu Ompi kurang punya kesabaran oleh kelambatan jalan hari. Seperti
calon
pengantin yang sedang menunggu hari perkawinan. Tapi semua orang tahu,
bahkan tidak
menjadi rahasia lagi bahwa cita-cita Ompi hanyalah akan menjadi mimpisemata.
Namun orang harus bagaimana mengatakannya, kalau orang tua itu tak hendak
percaya. Malah ia memaki dan menuduh semua manusia iri hati akan kemajuan yang
di capai anaknya. Dan segera ia mengirim uang lebih banyak, tanpa memikirkan segala
akibatnya. Dan itu hanya semata untuk menantang omongan yang membusukkan nama
baik anaknya.
"Sekarang
kau diomongi orang-orang yang busuk mulut, Anakku. Tapi ayah mengerti,kalau
mereka memfitnahmu itu karena mereka iri pada hidupmu yang mentereng.Cepat-cepatlah
kau jadi dokter, biar kita sumpal mulut mereka yang jahat itu," tulisnya
dalam sepucuk surat.
Dan akhirnya
orang jadi kasihan pada Ompi. Tak seorang pun lagi membicarakan Indra Budiman
padanya. Malah sebaliknya kini, semua orang seolah sepakat saja untuk memuji-muji
.
"Ooo,
anak Ompi itu. Bukan main dia. Kalau tidak ke sekolah, tentu menghafal di
rumah,"
kata seseorang yang baru pulang dari Jakarta menjawab tanya Ompi.
"Ke
sekolah? Kenapa ke sekolah dia?" Ompi merasa tersinggung. "Kalau
studen tidak menghafal, tahu? Tapi budi. Tidak ke sekolah. Tapi kuliah."
"O, ya,
ya, Ompi. Itulah yang kumaksud." "Aku sudah kira Indra Budiman,
anakku anak baik. Ia pasti berhasil. Aku bangga sekali.”Ah, kau datanglah ke
rumahku makan siang. Aku potong ayam." Dan oleh perantau pulang lainnya
dikatakan kepada Ompi. "Siapa yang tak kenal dia. Indra Budiman. Seluruh
Jakarta kenal. Seluruh gadis mengharap cintanya." Lalu Ompi geleng-geleng
kepala dengan senyumnya. "Bukan main. Bukan main. Indra Budiman anakku
itu. Ia memang anak
tampan.
Perempuan mana yang tak tergila-gila kepadanya. “Ha ha ha. Ah, datanglah kau ke
rumahku nanti. Ada oleh-oleh buatmu."
Kemudian
kalau Ompi ketemu gadis cantik yang di kenalnya, ditegurnya: "Hai,
kaukenal
anakku, studen dokter itu, bukan? Nanti kalau ia pulang, aku perkenalkan
padamu. Biar
kau dipinangnya. Ha ha ha."Si gadis tentu saja merah mukanya, karena
merasa tersinggung. Tapi menurut Ompi,muka merah itu karena malu tersipu. Dan
ia jadi tambah gembira.
Akan tetapi
ketika Ompi tahu Indra bakal kawin, dia dapat ilham baru.Dia pun merasa pula,
bahwa Indra Budiman sudah patut di tunangkan. Dan pada sangkanya, tentu Indra
Budiman akan gembira dan bertambah rajin menuntut ilmu, sebagai imbangan budi
baik ayahnya yang tak pernah melupakan segala kebutuhan anaknya. Dan diharapkannya
pula kedatangan orang-orang meminang Indra Budimannya. Karena di kampung kami
pihak perempuanlah yang datang meminang. Sudah tentu harapan Ompi tinggal
harapan saja. Tapi Ompi tak mau mengerti. Sikap keangkuhannya mudah tersinggung.
Dan bencinya bukan kepalang kepada orang-orang tua yang mempunyai anak gadis
cantik.
Bahkan bukan
kepalang meradangnya Ompi, jika ia tahu orang-orang mengawinkan anak gadisnya
yang cantik tanpa mempedulikan Indra Budiman lebih dulu.
Tak masukakal,
orang-orang tak menginginkan anaknya, si calon dokter
itu.
Lama-lama
rasa dendamnya pada mereka bagai membara. "Awaslah nanti. Kalau
Indra
Budimanku sudah menjadi dokter, akan kuludahi mukamu semua. Sombong."
Kepada Indra
Budiman tak dikatakannya kemarahannya itu. Malah sebaliknya.
Dikatakannya,
banyak sudah orang yang punya gadis cantik datang meminang.
Tapi semua
telah ditolak. Karena menurut keyakinannya, Indra Budimannya lebih
mementingkan
studi daripada perempuan. Apalagi seorang studen dokter tentu takkan mau dengan
gadis kampungan yang kolot lagi. "Pilihlah saja gadis di Jakarta, Anakku.Gadis
yang sederajat dengan titelmu kelak," penutup suratnya.
Celakanya
Indra Budiman yang selama ini menyangka bahwa tak mungkin ia dimaui
oleh orang
kampungnya, lantas jadi membalik pikirannya. Ia jadi sungguh percaya,
bahwa sudah
banyak orang yang datang melamarnya. Tak teringat olehnya, bahwa
bohongnya
kepada ayahnya selama ini sudah diketahui oleh orang kampungnya. Lupa ia bahwa
semua mata orang kampungnya yang tinggal di Jakarta selalu saja
mempercermin
hidupnya yang bejat. Sejak itu berubahlah letak panggung sandiwara.
Jika dulu si
anak yang berbohong, si ayah yang percaya, maka kini si ayah yang
menipu, si
anak yang percaya. Lalu si anak mengharapkan kepada ayahnya supaya
dikirimi
foto-foto gadis yang dicalonkan.Untuk membuktikan kebenaran suratnya, Ompi
mengirimkan foto gadis yang kebetulan ada padanya. Tidak peduli ia, apa foto
itu gambar dari gadis yang sudah kawin atau bertunangan. Bahkan juga tidak
peduli ia apa gadis itu sudah meninggal. Ia kirim terus dengan harapan semoga
anaknya tidak berkenan. Dan alangkah gembiranya Ompi, andaikata tidak ada
sebuah pun dari foto-foto itu yang berkenan di hati anaknya.
Disamping
itu ia sadar juga, bahwa kepalsuan sandiwaranya sudah tentu akan berakhir juga
pada suatu masa. Anaknya pasti lama-lama tahu dan dengan begitu akan timbul kesulitan
lain yang tak mudah di selesaikan.
Tapi rupanya
Tuhan mengasihi ayah yang sayang kepada anaknya. Persis ketika Ompi kehabisan
foto para gadis itu, dengan tiba-tiba saja surat Indra Budiman tak datang lagi.
Antara rusuh dan lega, Ompi gelisah juga menanti surat dari anaknya. Layaknya macan
lapar yang terkurung menunggu orang memberikan daging. lama
menunggu,dikiriminya surat. Ditunggunya beberapa hari. Tapi tak datang balasan.
Dikiriminya lagi. Ditunggunya. Juga tak terbalas. Dikirim. Ditunggu. Selalu tak
berbalas.
Bulan datang,
bulan pergi, Ompi tinggal menunggu terus. Pada suatu hari yang tak baik, di
kala Ompi sudah mulai putus asa, datanglah Pak Pos dengan di tangannya
segenggam surat. Maka darah Ompi kencang berdebar. Gemetar karena ia bahagia.
Tetapi alangkah remuknya hati orang tua itu, karena ternyata pengantar surat
itu Cuma mengantarkan semua surat-suratnya yang dikembalikan. Ia
tak percaya
bahwa surat-suratnya itu kembali. Ia seperti merasa bermimpi dan
tubuhnya
serasa seringan kapas yang melayang di tiup angin. Dibalik-baliknya surat itu berulang
kali. Lalu di bukanya dan dibacanya satu persatu. Dan tahulah ia,bahwa
semuanya
memang surat untuk anaknya yang ia kirimkan dulu. Tapi ia tak meyakininya dengan
sungguh-sungguh. Malah ia coba meyakinkan dirinya sendiri, bahwa ia sedang bermimpi.
Dan berdoalah ia kepada Tuhan, agar apa yang terjadi adalah memang mimpi
.
Semenjak itu
segalanya jadi tak baik. Ia jatuh sakit, bahkan sampai mengigau. Dan oleh
selera makannya yang patah, Ompi bertambah menderita jua. Lahir dan batin. Kini
dalam hidupnya hanya satu hal yang dinantikannya. Yaitu surat. Surat dari anaknya,Indra
Budimannya. Seluruh hidupnya bagai jadi meredup seperti lampu kemersikan sumbu.
Dan ia telentang di ranjangnya, enggan bergerak. Tapi matanya selalu lebar terbuka
memandang langit-langit kelambu. Mata itu kian hari semakin jadi besar tampaknya
oleh badannya yang kian mengurus. Tapi mata yang lebar itu tiada cemerlang.
Redup, Akan
tetapi setiap sore, diantara jam empat dan jam lima, Ompi kelihatan seperti orang
sakit yang bakal sembuh. Dan ia sanggup berdiri dan melangkah ke pintu depan. Dan
cahaya matanya kembali bersinar-sinar. Karena pada jam itu biasanya Pak Pos biasanya
mengantarkan surat-surat ke alamatnya masing-masing. Tapi saat-saat seperti
itu, yang membiarkan masa bahagia dan harapan, adalah juga masa yang menambah
dalam luka hatinya, hingga lebih meroyak.
Sebab selamanya Pak Pos itu tak mampir lagi membawakan surat dari Indra Budiman.
Sebab selamanya Pak Pos itu tak mampir lagi membawakan surat dari Indra Budiman.
Dan kalau
Pak Pos itu telah lewat tanpa singgah, reduplah lagi mata Ompi.
Namun
kemalangan itu bertambah lagi. Yaitu ketika Ompi jatuh terduduk. Lama orang baru
tahu dan memapahnya ke ranjangnya di kamar. Ompi jadi lumpuh dan habislah sejarah
Ompi menanti di ambang pintu setiap sore. Ia kini menanti dengan telentang di
ranjangnya. Sebuah kaca disuruhnya supaya di pasang pada dinding yang dapat memberi
pantulan ke ambang pintu depan, sehingga ia akan serta-merta dapat melihat Pak
Pos mengantarkan surat Indra Budiman. Dan semenjak itu, pada setiap jam empat hingga
jam lima sore, matanya akan menatap ke kaca itu. Hanya di waktu itu saja.
Sedangkan di
waktu lain Ompi seolah tak peduli pada segalanya. Kami tak pernah lagi
memanggil dokter setelah tiga kali ia datang. Karena kedatangan
dokter hanya
akan memperdalam luka hatinya saja. Kehadiran dokter itu menimbulkan risau
hatinya karena ingat pada Indra Budiman yang bakal jadi dokter, tapi tak pernah
lagi mengiriminya surat. Kedatangan seorang dokter di pandangnya sebagai suatu sindiran,
bahwa anaknya masih juga belum berhasil menjadikan cita-
citanya
tercapai.
Ketika
terakhir aku menemui dokter yang sudah enggan datang,dokter hanya menggelengkan
kepala saja. "Aku tak mampu mengobatinya lagi. Carilah dokter lain
saja. Atau
bawa ia ke rumah sakit. Kalau semua tak mungkin, jangan tinggalkan dia
sendirian.
Bila perlu, meski dengan resiko besar, bangunkanlah kembali mahligai angan-angannya."
Semenjak
itu, berganti-ganti orang aku menyediakan diriku selalu dekat Ompi. Aku
sadar, bahwa
tiada harapan lagi buatnya hidup lebih lama. Itulah sebabnya tak kusampaikan
kepadanya bahwa hari perkawinanku sudah berlangsung. Karena aku
takut berita
itu akan menambah dalam penderitaannya. Di samping itu secara samar-samar aku
elus terus harapannya yang indah bila Indra Budiman kembali. Kukarang cerita
masa lalu dan angan-angan masa depan yang menyenangkan. Kuceritakan dengan hati
yang kecut.
.
Aku pun
tahu, tidak ada gunanya semua. Hanya satu yang dikehendakinya. Surat dari Indra
Budiman. Surat yang mengatakan bahwa ia sudah lulus dan telah mendapat titel dokterya.
Kadang-kadang terniat olehku hendak menulis sendiri surat itu. Tapi aku selamanya
bimbang, malahan takut, kalau-kalau permainan itu akan berakibat yang lebih
fatal. Maka tak pernah aku coba menulisnya.
Pada suatu
hari terjadilah apa yang kuduga bakal terjadi. Tapi tak kuharapkan
berlangsungnya.
Kulihat Pak Pos memasuki halaman rumah Ompi. Hari waktu itu jam sebelas siang.
Aku tahu itu pastilah bukan surat yang dibawanya. Melainkan sepucuk telegram.
Dan pada telegram itu pastilah bertengger saat-saat kritis sekali. Tergesa-gesa
aku menyongsong Pak Pos itu ke ambang pintu. Maksudku hendak membuka telegram
itu untuk mengetahui isinya lebih dulu. Dan jika perlu akan kuubah isinya. Agar
terelakkan saat-saat yang menyeramkan. Akan tetapi semua kejadian datang dengan
serba tiba-tiba. Hingga gagallah recanaku.
Tak sempat
aku membuka surat itu. Karena di luar segala dugaanku, Ompi yang sudah lumpuh
selama ini, telah berada saja di belakangku. Sesaat ketika aku menerima dan menandatangani
resi telegram itu. Gemetar kaki Ompi mendukung tubuhnya yang kisut. Tangannya
berpegang pada sandaran kursi. Dan aku kehilangan kepercayaan pada pandangan
mataku sendiri.
Kekuatan
apakah yang menyebabkan Ompi bisa berdiri dan bahkan berjalan itu. Aku tak
tahu."Bukalah. Bacakan segera isinya." Ompi berkata seperti ia
memerintah orang-orang di waktu mudanyadulu.
Aku sobek
sampul yang kuning muda itu dengan tangan yang menggigil. Sekilas saja tahulah
aku, bahwa saat yang paling kritis sudah sampai di puncaknya.
Indra
Budiman dikabarkan sudah meninggal.
"Telegram
dari anakku? Apa katanya? Pulangkah dia membawa titel dokternya?" Ompi bertanya
dengan suara yang mendesis tapi terburu-buru berdesakan keluar.
Tak tahulah
aku, apa yang harus kukatakan. Dan kuharapkan sebuah keajaiban yang diberikan
Tuhan untuk membebaskan aku dari siksa ini. Tapi keajaiban tidak juga datang.
Aku mengangguk. Sedang dalam hatiku berteriak, terjadilah apa yang akan terjadi.
Ompi
terduduk di kursi. Matanya cemerlang memandang. Tangannya diulurkannya
kepadaku
meminta telegram itu. Aku merasa ngeri memberikannya. Tapi aku tak bisa berbuat
lain. Telegram itu kusodorkan ke tangannya. Telegram itu digenggamnya erat. Lalu
didekapkan ke dadanya. "Datang juga apa yang kunantikan," katanya Sepi
begitu menekan, sehingga aku dapat mendengar denyut jantungku sendiri. "Ah,
tidak. Aku takkan membaca telegram ini. Aku takut kegembiraanku akan meledakkan
hatiku. Kaubacakan buatku. Bacakan pelan-pelan. Biar sepatah demi sepatah bisa
menjalari segala saraf sarafku," kata Ompi dengan terputus-putus.
Dalam
kegugupan kususun sebuah taruhan jiwa dan sesalam bagi selama hidupku. Akan kukarang
kisah yang menyenangkan hatinya. Tapi telegram itu tak diberikannya padaku.
Masih terletak pada dekapan dadanya. Sedangkan bibirnya membariskan senyum,
serta matanya menyinarkan cahaya yang cemerlang.
"Tak usah
dibacakan. Takkan sanggup aku mendengarnya. Aku akan mati lemas oleh kebahagiaan
yang datang bergulung ini. Aku mau sehat. Mau kuat dulu. Sehingga ledakan
kegembiraan ini tak membunuhku. Panggilkan dokter. Panggilkan. Biar aku jadi
segar bugar pada waktu anakku, Dokter Indra Budiman, datang. Pergilah. Panggilkan
dokter," kata Ompi dengan gembira.
1 comment for "[Cerpen] Anak Kebanggaan (Karya A.A Navis)"
Give Us Your Feedback!