Sistem Peradilan Jinayah (Pidana Islam)
Ilustrasi |
NB:
Tulisan Ini sudah dimuat ke dalam Skripsi dari:
Nama : Riduwan
Judul : Penerapan Ketentuan Jarimah Khamar di Wilayah Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Aceh Tenggara
Tahun : 2017
Fakultas : Hukum
Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh
Tulisan Ini sudah dimuat ke dalam Skripsi dari:
Nama : Riduwan
Judul : Penerapan Ketentuan Jarimah Khamar di Wilayah Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah Aceh Tenggara
Tahun : 2017
Fakultas : Hukum
Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh
AEFARLAVA (23 Juli 2017) Istilah
Sistem Peradilan Jinayah digunakan
hanya sekedar mengganti istilah Sistem Peradilan Pidana. Sistem Peradilan
Pidana dalam bahasa Inggris disebut criminal
justice system adalah suatu sistem
berprosesnya suatu peradilan pidana, masing-masing komponen fungsi yang terdiri
dari kepolisian sebagai penyidik, kejaksaan sebagai penuntut umum, pengadilan
sebagai pihak mengadili dan lembaga permasyarakatan yang berfungsi untuk
memasyarakatkan kembali para narapidana, yang bekerja secara bersama-sama,
terpadu di dalam usaha untuk mencapai tujuan bersama, yaitu untuk menanggulangi
kejahatan[1].
Sistem
peradilan Jinayah memiliki kesamaan dengan sistem Peradilan
Pidana, dimana Kepolisian dan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) selaku
penyidik, kejaksaan sebagai penuntut umum dan juga eksekusi, namun yang
membedakan antara Peradilan Pidana dengan Peradilan Jinayah adalah terletak di pemeriksaan sidang pengadilan yang
dilakukan di lingkungan Peradilan Agama oleh Mahkamah Syar’iyah.
Ketentuan
mengenai Sistem Peradilan Jinayah dapat dilihat
di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh,
yang terdapat di dalam BAB XVIII Mahkamah Syar’iyah, BAB XXVI Kepolisian, dan
BAB XXVII Kejaksaan, berikut akan dijelaskan wewenang yang dimiliki oleh
Mahkamah Syar’iyah, Kepolisian serta Kejaksaan dalam Sistem Peradilan Jinayah.
1. Wewenang
Mengadili Mahkamah Syar’iyah
Pengadilan merupakan salah satu subsistem dalam peradilan pidana.
Lembaga peradilan merupakan
pelaksana atau pemeriksa suatu perkara dengan suatu putusan hakim yang bersifat
mengikat, putusan mana dapat berupa pemidanaan terhadap orang yang bersalah. Bekerjanya
subsistem pengadilan diawali dengan pelimpahan berkas perkara dari penuntut umum yang
dilanjutkan dengan memeriksa dan diakhiri dengan memutuskan perkara pidana
berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak memihak menurut cara yang diatur oleh
undang-undang.[2]
Pidana
Islam juga mengenal sistem pengadilan yang diberikan tugasnya kepada Mahkamah
Syar’iyah, berdasarkan Bab XVII Mahkamah Syar’iyah memiliki kewenangan secara
garis besar dalam mengadili suatu
perkara jinayah, penundukan diri bagi
pelaku jarimah yang bukan beragama
Islam, tingkatan peradilan, hukum acara yang berlaku, wewenang penyidikan dan
sengketa wewenang mengadili.
Pengaturan
wewenang Mahkamah Syar’iyah dapat dilihat dalam Pasal 128 ayat (3)
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yang menyatakan
bahwa Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa, mengadili, memutus, dan
menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal
al-syakhsiyah (hukum keluarga), Muamalah (hukum perdata), dan jinayah (hukum pidana) berdasarkan pada syari’at Islam.[3]
Pasal
129 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh,
memberikan dasar hukum bagi masyarakat yang beragama bukan Islam secara
bersama-sama yang telah terbukti melakukan perbuatan jinayah untuk mereka diberikan keistimewaan untuk dapat menundukkan
dirinya kepada hukum jinayah Aceh
yang berlaku. Namun pada ayat selanjutnya yakni Pasal 129 ayat (2)
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh yang menjelaskan
apabila setiap orang yang beragama bukan Islam yang melakukan perbuatan Jinayah namun tidak diatur didalam
perundang-undangan pidana yang berlaku secara nasional, maka bagi pelaku
diberlakukan hukum jinayah.
Pemberlakuan
hukum jinayah sendiri berlaku azas
personalitas atau teritorial dimana artinya hukum jinayah itu sendiri hanya berlaku bagi masyarakat yang beragma
Islam dan juga masyarakat bukan Islam namun telah menundukkan diri terhadap
hukum jinayah di wilayah Aceh saja,
apabila terdapat masyarakat Aceh yang beragama Islam melakukan perbuatan jinayah di luar Aceh maka untuknya tidak
berlaku hukum jinayah tersebut,
sebaliknya apabila masyarakat di luar Aceh yang beragama Islam maupun yang
bukan Islam yang tunduk pada hukum jinayah
dan telah melakukan perbuatan jinayah
maka bagi mereka berlaku pula hukum jinayah
tersebut.
Pasal
15 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kehakiman juga memberikan
kewenangan bagi Mahkamah Syar’iyah yang merupakan pengadilan khusus dalam
lingkungan peradilan agama, serta pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan
umum. Tingkatan didalam Mahkamah Syar’iyah sendiri dapat dilihat dalam Pasal
130 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, yakni:
Pasal
130 : Mahkamah Syar’iyah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (1) terdiri
atas Mahkamah Syar’iyah kabupaten/kota sebagai pengadilan tingkat pertama dan
Mahkamah Syar’iyah Aceh sebagai pengadilan tingkat banding.
2. Wewenang
Penyidikan Oleh Kepolisian Di bantu Oleh Satuan Polisi Pamong Praja
Penyelidikan
dan Penyidikan dilakukan oleh pihak Kepolisian dibantu oleh PPNS apabila masih
berkaitan dengan pelanggaran Jinayah hal
ini dapat dilihat pada Pasal 133 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang
Pemerintahan Aceh, yakni.
Pasal
133 : Tugas penyelidikan dan penyidikan untuk penegakan syari’at Islam yang menjadi kewenangan Mahkamah Syar’iyah sepanjang
mengenai jinayah dilakukan oleh
Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
Pasal
244 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh memberikan
wewenang kepada Gubernur, Bupati/Walikota untuk membentuk Satuan Polisi Pamong Praja dan juga membentuk
Polisi Wilayatul Hisbah yang
berfungsi dalam penyelenggaraan ketertiban serta penegakkan syari’at Islam. Selanjutnya berdasarkan
Pasal 245 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, PPNS
selaku penyidik dapat diangkat dari anggota Satuan Polisi Pamong Praja.
Penyidikan
sendiri berdasarkan Pasal 1 angka 21 Qanun Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Hukum
Acara Jinayat memiliki arti serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang dan/atau qanun untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang Jarimah yang terjadi guna menemukan tersangka.
Berdasarkan
penjelasan diatas bahwa peran dari penyelidik dan penyidik diberikan kepada kepolisian
serta PPNS. Dalam hal penegakkan syari’at
Islam dan qanun untuk menciptakan ketertiban umum serta ketentraman masyarakat
akan dilaksanakan oleh Satuan Polisi Pamong Praja. Peran dari Polisi Wilayatul Hisbah sendiri adalah
menegakkan qanun syar’iyah dalam
pelaksanaan syari’at Islam yang
merupakan unit bagian dari Satuan Polisi Pamong Praja.
3. Wewenang
Penuntutan dan Eksekusi oleh Kejaksaan
Penuntutan
serta pelaksanaan pidana di bidang syari’at
Islam di Aceh merupakan tugas dari jaksa, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 39
Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia
meyebutkan “Kejaksaan berwenang menangani perkara pidana yang diatur didalam qanun
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi
Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh
Sebagai Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, sesuai dengan Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Menurut Pasal 1 angka 23 Qanun
Nomor 7 Tahun 2013 Tentang Hukum Acara Jinayat memberikan definisi tentang
jaksa yakni pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.
Tugas
penuntutan serta pelaksanaan pidana di bidang syari’at Islam dilakukan secara penuh oleh jaksa tanpa adanya
pihak lain yang bersifat lokal, seperti halnya pihak kepolisian dalam penyidikan
di bantu oleh Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah yang bersifat kedaerahan, maksud dari sifat
kedaerahan disini adalah dimana Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah sebagaimana yang telah
dijelaskan diatas dalam Pasal 244 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang
Pemerintahan Aceh memberikan wewenang kepada Gubernur, Bupati/Walikota untuk
membentuk Satuan Polisi Pamong Praja dan
juga membentuk polisi Wilayatul Hisbah
yang berfungsi dalam penyelenggaraan ketertiban serta penegakkan syari’at Islam yang berlaku hanya
diwilayah provinsi Aceh saja.
Pelaksaana
eksekusi dalam hal ini pidana cambuk, kejaksaan bersama dengan Pemerintah
Provinsi Aceh, Pengadilan Tinggi Banda Aceh, Mahkamah Syar’iyah Provinsi
dan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan
HAM Aceh, sepakat bahwa petugas pencambukkan disediakan oleh Dinas Syari’at
Islam Kabupaten/Kota setempat yakni Polisi Wilayatul
Hisbah.
Walaupun
yang melakukan pencambukkan adalah Wilayatul
Hisbah, bukan berarti bahwa yang melaksanakan putusan hakim adalah Wilayatul Hisbah. Hal ini sama dengan
eksekusi pidana penjara yang pelaksanaannya dilakukan oleh lembaga
permasyarakatan dan eksekusi pidana mati yang dilakukan oleh regu tembak kepolisian.[4]
Refrensi:
Dr. Mohd.
Din,S.H., M.H, Sistem Peradilan Jinayah Di Aceh,
Jurnal Ilmiah Ilmu-Ilmu Sosial Dan
Kemasyarakatan. Modial Vol.13 No.22 Edisi Juli-Desember, Bandung, Lembaga
Kajian Sosial Dan Kemasyarakatan (LKSK),
2010.
Muazzin,
Hambatan Eksekusi Putusan Hakim Dalam
Perkara Jinayah Pada Mahkamah Syar’iyah Bireun. Kanun Jurnal:Ilmu Hukum. Vol.13
No 1 (2011):Vol.13 No.1 (April 2011), Banda Aceh, Fakultas Hukum
Universitas Syiah Kuala, 2011
Undang-undang
Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006
Tentang Pemerintahan Aceh
Qanun Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat
PERGUB
Aceh Nomor 139 Tahun 2016 Tentang Kedudukan, Susunan Organisasi, Tugas, Fungsi
Dan Tata Kerja Satuan Polisi Pamong Praja Dan Wilayatul Hisbah Aceh
[1]
Mohd. Din, Op.cit.Hlm 94-95
[2]Muazzin, Hambatan
Eksekusi Putusan Hakim Dalam Perkara Jinayah Pada Mahkamah Syar’iyah
Bireun.Kanun Jurnal: Ilmu Hukum.Vol.13 No 1 (2011) : Vol.13 No.1 (April 2011), Fakultas Hukum Universitas Syiah
Kuala,Banda Aceh, 2011. Hlm 99
[3]
Mohd. Din.Op.cit. Hlm 96
[4]
Mohd. Din.Op.cit. Hlm 102
Post a Comment for "Sistem Peradilan Jinayah (Pidana Islam)"
Post a Comment
Give Us Your Feedback!