Petrikor

Ilustrasi

Hujan deras di malam itu mengguyur seperti badai, menghantam dari segala arah. aku coba ingat-ingat lagi, kaki-kaki kecilku berlari sekuat tenaga menghindari kejaran air hujan yang seakan berubah menjadi jarum-jarum tajam yang  berhasrat menghujani badanku yang lemah ini.

Aku masih ingat malam itu, memori yang tak pernah aku lupakan, kenangan indah yang tercipta sederhana namun sangat bermakna bagi seorang anak dengan peci khas sobek di ujungnya, dan di akhir malamnya dia bisa tersenyum dan terlelap bahagia disampingnya, malam yang terbaik yang pernah dianugerahkan kepadanya.


Bau tanah yang basah terkena air hujan malam itu masih sangat segar di memoriku, memori yang akan membangun kenangan ini kembali lagi apabila bau segarnya petrikor menyeruak ke relung rongga-rongga ingatanku.

Baju basah, sarawa kuyup, peci pun sudah lusuh, tak menghentikan semangatku yang lebih besar dari tubuhku, semangat yang selama ini terpendam karena terpisah jarak dan waktu.

***
Pintu rumah bewarna coklat dengan ukiran kayu berlafaz bismillah berada persis dari hadapanku, hujan malam itu mulai mereda, ku ketok pintu dengan sangat lembut namun didalam hati ingin rasanya aku mendobrak pintu itu agar hilang segera rinduku.

Rinduku terbayar sudah saat terbuka pintu coklat, dari celah sedikit tampak wanita pertama yang memeluk tubuhku dia tersenyum kepadaku, wanita yang sudah sangat lama aku rindu-rindukan, aku pun berlari menghampirinya, ia dengan sigap memelukku kembali seperti hari itu, saat aku sudah mulai bisa merekam kenangan-kenangan indah.

Ibu telah kembali kesisiku. saat pertama kali ibu menghilang aku masih bingung mengapa ibu pergi, saat aku tanya ke paman, dia menjawab, ibu sedang berada di rumah mak uwo di medan, dan aku tanya lagi ke kakaknya ibu, dia kata ibu sedang istirahat di lawe perbunga.

Semenjak kepergian ibu ke medan atau ke lawe perbunga, bapak juga tak ada dirumah, pergi dengan pesan "ayah hanya sebentar". setelah itu aku sendiri disini bersama abang, kami yang masih kecil-kecil kala itu berjuang seadanya untuk bertahan, tak ada satu sanak familipun yang membawakan makanan atau sekedar menanyakan kabar kami hari itu, apakah kami sehat atau tidak? mereka yang sekarang mengatakan kamilah saudaramu, namun tak ada dihari-hari terberat dalam hidup keluarga kami.

Namun, Tuhan memang benar tidak pernah tidur, dibalik kesusahan tersebut 2 minggu setelah ibu dan ayah pergi entah kemana dikirimlah malaikat penolong kepada kami berdua, meskipun tak memiliki hubungan darah dengan kami namun, keluaganya lah yang sangat peduli sama keluarga kami, setiap siang harinya kakak itu selalu membawakan masakannya untuk kami makan setiap harinya, betapa mulianya hatinya dan keluarganya.

***

Pelukkan ibu aku rasakan berbeda kali itu, tak sehangat saat pertama kali dia memelukku, dia hanya tersenyum seraya memanggil namaku, tak ada lagi kata-kata yang terlontar dari mulutnya, dinginnya malam itu sebanding dengan dinginnya pelukkan ibu, perasaan aneh pun kini aku rasakan, keadaan rumah yang seharusnya menciptakan kehangatan malam itu seperti angan-anganku setelah beranjak dari surau seakan tidak akan terwujud di perjumpaan pertama kami.

Keraguan  yang aku takut-takutkan akan berganti dengan sebuah kehangat baru yang diciptakan oleh seorang bapak, seorang laki-laki tangguh yang selama ibu hanya terdiam dalam beberapa masa, ia menggambil peran ibu dalam rumah ini, masih bisa aku mencium bau masakkan yang ia tumis malam itu, masih harum seperti malam itu, tangannya lihai memotong daun-daun bawang tak ubahnya cheff profesional yang sedang bekerja.

Sudah lama rasanya aku tak mencicipi makanan yang dibuatkan oleh bapak, dencis sambalado di tambah dengan sayur kangkung yang ia tumis, membuat suasana rumah yang tadinya dingin kini berubah seketika seperti ada magnetnya menjadikan seisi ruangan menjadi hangat kembali.

Selesai memasak bapak menghampiriku, ia dengan lembutnya mengusap kepalaku, dan mengatakan "apa kabar kamu?" setelah itu hal yang aku tunggu-tunggu setelah beberapa bulan tak aku dapatkan lagi, yakni makan bersama lengkap dengan bapak mamak dan abangku, seketika segala ketakutan dan keresahanku selama ini ditambah dengan ketidakpedulian sanak famili akan kesusahan keluarga kami mulai sirna.

Semuanya terganti dengan canda dan tawa seorang bapak yang kini mengambil peran seorang ibu, meskipun aku tak memahami mengapa ibu yang dulunya periang namun kini berubah menjadi orang yang kaku dan pendiam, namun yang pasti ibu dan bapak kini sudah berada disisiku lagi, dan kelak aku akan membahagiakan mereka seperti kebahagian kebersamaan yang mereka berikan padaku malam itu.

***

Sebelum tidur, bapak membisikkan sebuah pituah yang sampai dewasa ini tetap aku jaga pituahnya sebagai azimat, dan sebagai pedoman hidupku kelak, ia mengatakan "bantulah orang yang memerlukan bantuanmu dan jangan pernah mengkhianati orang lain, karena kita sudah merasakan betapa susahnya hidup kita saat tak ada yang membantu dan di khianati" meskipun malam itu aku menganggung tanda mengerti, namun, dalam pikiranku yang lugu hanya memikirkan agar segera selesai pembicaraan bapak dan aku bisa segera tidur bersama mereka di ranjang yang sama seperti malam-malam yang lalu, saat itu aku bisa merasakan ketenangan untuk tidur, hal yang tidak pernah aku rasakan beberapa bulan yang lalu.

22 Agustus 2017
RpY

1 comment for "Petrikor"

Comment Author Avatar
This comment has been removed by a blog administrator.

Give Us Your Feedback!