Proses Upacara Kematian Suku Alas di Kabupaten Aceh Tenggara
Belaghak dan Bujang Suku Alas Foto : Wikipedia |
Suku
Alas adalah sekelompok
etnis yang bermukim di daerah Alas, Kabupaten Aceh Tenggara. Sedangkan daerah
Alas disebut dengan Tanoh Alas. Menurut Kreemer (1922) kata "Alas"
berasal dari nama seorang kepala etnis (cucu dari Raja Lambing), ia
bermukim di desa paling tua di Tanoh Alas yaitu Desa Batu Mbulan.
Namun ada juga pendapat kata "Alas" berasal dari bahasa Gayo yang artinya "Tikar" hal ini dapat diterima juga karena letak geografi tanah Alas yang lebih datar dan luas ketimbang dengan daerah-daerah lainnya yang berbatasan langsung dengan Tanoh Alas seperti dataran tinggi Gayo dan dataran tinggi Karo yang secara penampakkan alamnya adalah bergunung dan berbukit-bukit.
Namun ada juga pendapat kata "Alas" berasal dari bahasa Gayo yang artinya "Tikar" hal ini dapat diterima juga karena letak geografi tanah Alas yang lebih datar dan luas ketimbang dengan daerah-daerah lainnya yang berbatasan langsung dengan Tanoh Alas seperti dataran tinggi Gayo dan dataran tinggi Karo yang secara penampakkan alamnya adalah bergunung dan berbukit-bukit.
Khang Alas atau Kalak Alas telah
bermukim di lembah Alas, jauh sebelum Pemerintah Kolonial Belanda masuk ke
Indonesia. Keadaan penduduk lembah Alas tersebut telah diabadikan dalam sebuah
buku yang dikarang oleh seorang bangsa Belanda bernama Radermacher (1781). Bila
dilihat dari catatan sejarah masuknya Islam ke Tanah Alas, pada tahun 1325
(Effendy, 1960:26) maka jelas penduduk ini sudah ada walaupun masih bersifat
nomaden dengan menganut kepercayaan animisme.
Sisa-sisa
kepercayaan animisme pada masyarakat adat, biasanya dapat kita lihat dalam
ritual atau upacara adat yang digelar. Sebelum masukknya Islam ke Tanoh Alas,
pengaruh Animisme dari Suku Batak dan Karo sangatlah dominan dalam kehidupan
sehari-hari di Tanoh Alas, seperti upacara tolak bala, buka sawah dan upacara
kematian seseorang, sampai sekarangpun masih ada segelintir masyarakat Alas
yang mempercayai takhayul-takhayul sisa-sisa dari ajaran animisme seperti
kepercayaan orang yang sudah meninggal akan mendatangi keluarga dekatnya pada
hari ke-27 ramadhan (Red- Malam
Lam le).
Postingan kali ini akan membahas cara masyarakat adat Alas melayani orang yang sudah meninggal dunia untuk terakhir kalinya.
Postingan kali ini akan membahas cara masyarakat adat Alas melayani orang yang sudah meninggal dunia untuk terakhir kalinya.
Upacara
adat adalah bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan, tumbuh dan berkembang
secara historis pada suatu kelompok masyarakat. Berfungsi mengukuhkan
norma-norma sosial dan nilai-nilai luhur. Salah satu upacara tradisional yang
masih dan terus dipertahankan oleh masyarakat pendukungnya adalah upacara
kematian. Banyak orang yang menganggap sepele terhadap upacara kematian. Orang
lebih tertarik memperhatikan upacara daur hidup yang lain seperti upacara
perkawinan. Padahal apabila kita amati dengan seksama, upacara kematian
megandung nilai-nilai luhur yang pada akhir akan diwarisi oleh para penerus
pendukung kebudayaan tersebut.
C:kebudayaan indonesia |
Upacara
kematian dalam masyarakat suku Alas dibagi menjadi beberapa tahapan; masa mayat
di Rumah adalah masa pelayatan, seleuruh kerabat diundang terutama sekali
kerabat yang paling dekat yakni dua angkatan ke atas dan dua angkatan ke bawah ego
(orang yang meninggal). Sebelum di bawa ke sungai, sebelum abad ke 20, warga
Alas masih menggelar Seni ngeratap (Red-Melagam), menangisi mayat dan
mengenang segala kebaikannya. Seni ngeratap (Red-Melagam) juga dikenal
dalam Suku Karo, Batak dan di Gayo disebut dengan Pepongoten dewasa ini
sangat bertentangan dengan ajaran Islam.
Proses
Memandikan Mayat masyarakat Alas dilakukan di sungai (Pada zaman dulu sekarang
biasa dilakukan di wc atau tempat wudhu Masjid), dengan kedalaman kira-kira 30
cm dan waktu mayat dipangku dapat mengenai air. Selanjutnya imam akan mengosoki
mayat dengan air badar. Setelah semua dianggap bersih, barulah imam menyiram
mayat dengan air sembilan. Fungsi air ini adalah sebagai air pembersih
terakhir. Setelah selesai dimandikan, sebelum mayat diusung ke luar rumah
anak-keluarga mengadakan mengkiran (menusuki) mayat melalui bawah
usungan, agar mayat jangan teringat kepada anak dan keluarganya di dalam kubur
nanti. Kemudian mayat disalati. Mayat kemudian dibawa ke tempat penguburan
dengan diusung dalam peraran. Selanjutnya adalah proses Penguburan
Mayit, pada saat penguburan ini ada juga kadang kala apabila ada seorang
keluarga yang meninggal dunia waktu muda dan memiliki ponakkan maka pada saat
penguburan Mayit di bawah kaki sang mayit diletakkan buah kelapa muda yang
airnya sudah diminumkan kepad ponakkannya dengan tujuan agar sang ponakkan
tidak sakit-sakitan sepeninggal sang paman atau menolak sial.
Masa
Takziah, upacara ini dilakukan selama tiga hari berturut-turut, yakni malam
pertama hingga malam ketiga setelah upacara penguburan. Berikutnya adalah Masa
Hari Ketujuh, upacara hari ketujuh dilaksanakan agak lebih besar dari upacara
sebelumnya. Bagi mereka yang mampu biasanya dilakukan pemotongan kerbau
(Red-Kobo) atau sapi. Keluarga duka menyiapkan sirih undangan yang disebut pemanggo
7. Apabila kaum kerabat mendapat sirih pemanggo, ia sibuk mempersiapkan
bahan bawaan untuk dipersembahkan kepada keluarga orang yang meningggal itu.
Bahan bawaan berupa: limon satu lusin, kerotum (nasi bungkus yang dibungkus
dengan daun pisang yang bentuknya bulat panjang), lauk pauk satu susun
(rantang), kelapa ala kadarnya, telur bebek, beras ala kadarnya, dan uang.
Pada
pagi hari setelah malam ke tujuh, upacara penanaman batu digelar dengan
dipimpin oleh seorang imam. Para peserta biasanya adalah kaum kerabat, namun
ada pula warga kampung yang menghadirinya. Upacara dimulai dengan penyiraman
kuburan dengan air yang telah disediakan. Penyiraman ini dilaksanakan oleh imam
sebanyak tiga kali dari atas kuburan ( kepala ) sampai bawah (kaki) sambil
membaca doa. Kemudian batu yang bagian atasnya telah dibungkus dengan kain
putih dan disediakan dalam sebuah talam (Red-tapesi) diambil oleh tengku imam
serta ditanam di atas kuburan pada bagian kepala. Batu ditanam kira-kira
setengah bagian dengan posisi batu yang tertutup kain berada di atas.
Pelaksanaan
upacara malam ke empat puluh hari tidak berbeda dengan upacara malam ke tujuh,
yakni dengan pembacaan samadiah yang dipimpin oleh imam dan diakhiri dengan
pembacaan doa. Kemudian acara dilanjutkan dengan kenduri makan bersama. Seusai
makan bersama berarti usai pula seluruh rangkaian upacara kematian pada masyarakat
Alas.
Jika
kita lihat dari rangkaian upacara kematian suku Alas, kita menemukan kesamaan
dengan proses upacara kematian masyarakat Islam di jawa. Masih terdapat sisa
keyakinan animisme dengan adanya mengkiran, dan Takziah atau Tahlilan,
meletakkan kelapa di bawah kaki. Kekhasan Suku Alas terdapat pada sistem
kekerabatan yang sangat erat dengan sifat wajib datangnya kerabat yang paling
dekat yakni dua angkatan ke atas dan dua angkatan ke bawah ego, juga
adanya undangan sirih pemanggo 7 demi menjaga keutuhan kekerabatan suku Alas.
Sumber :
- · http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1080/upacara-kematian-suku-alas-aceh-tenggara
Post a Comment for "Proses Upacara Kematian Suku Alas di Kabupaten Aceh Tenggara"
Post a Comment
Give Us Your Feedback!