Ibu, Aku Tak Ingin Baju Baru [Cerpen]
![]() |
Ilustrasi ibu dan anaknya C:Google |
Gubahan : Riduwan Philly
Tahun : 2016
Genre : Tragedi,
Adzan shubuh berkumandang, ibu membangunkan kami untuk beranjak menyauti panggilan Allah dari Surau. Dengan pikiran yang agak gusar aku bersujud, pikiranku melayang-layang kala itu tak seperti biasanya.
Sholat Subuh telah kami laksanakan, dengan hati
masih berasa gusar dan kesal, aku diseret-seret oleh adikku untuk pulang,
karena iya tak tahan lagi ingin segera ke rumah.
“Aboy[1],
lekas lah bang, kandu[2]
lama kali jalan tengok?” adikku menyeret terus badanku sama seperti dia
menyeret kerbau-kerbau tetangga yang ia gembalakan.
“Sabar lah
dek, ngapai kau cepat-cepat pulang, ada apa?”
“Aku
mau ikut ibu ke pasar, nanti malam kan tanggal 27, pasti kandu tak ingat?”
Aku mengiyakan saja kata-katanya, seakan aku berkaca
melihat diriku sendiri sewaktu masih SD dulu yang setiap hari ke 27 ramadhan,
anak-anak seumuran itu akan merasakan kegembiraan yang sangat, hampir sama
rasanya seperti hari raya.
Padahal sudah aku katakan padanya, pasar atau yang
biasa kami sebut pajak belum buka jam segini, paling cepat toko-toko di
kampungku bukanya jam 09:30 pagi, itu pun yang punya toko yang baru bangun.
Kalaulah kiranya kalian hendak ke kampung halamanku,
silahkan berkunjung, kami sangat terbuka di sini, namun kalian harus bersusah
payah terlebih dahulu melewati celah-celah terjal dari dataran tinggi tanah
Karo, atau dari utara melewati berbukitnya tanah Gayo.
“Bu, sebentar
lagi kan mau hari raya, isran mau baju baru lah?” Sebelum ibu dan adikku
berangkat ke pajak aku mewanti-wanti kepadanya “Masa isran harus pakai baju itu-itu saja dua 3 kali lebaran?”
“Iya-iya,
nanti ibu belikan ya?”
Ibu berlalu begitu saja melewati ku dengan menebar
senyuman penuh kecut. Dulu saat ayah masih ada, kami adalah salah satu keluarga
terpandang dan dihormati karena keturunannya, ayah adalah seorang pengusaha
sukses petani kemiri, orang-orang memanggilnya dengan sebutan Pak Gegoh[3],
rumah kami persis di ujung persimpangan jalan dekat dengan surau, yang oleh
ayahnya di bangun.
Semua keluarga besar kami sangat bangga dengan keberhasilan usaha ayahku, tak jarang setiap harinya ada saja keluarga yang entah dari keturunan mana mengaku sebagai saudara
untuk mendapatkan manisnya rasa penjualan kemiri yang kala itu sangatlah menjadi primadona.
Harga kemiri di pasaran tiba-tiba anjlok, rumah yang dulunya ramai dengan gelak tawa,
canda, bahkan rengekan bayi-bayi kecil kini berlahan-lahan, hilang tanpa tau
kemana mereka pergi, mereka yang dulunya menyebut dirinya saudara dekat!
Hidup yang serba berkecukupan, kini serba kesusahan
semenjak ayah tiada, orang beranggapan bahwa ayah sudah di guna-guna oleh
pemilik Begu Ganjang[1]
, namun aku berpikiran lain, ayah mungkin terkena serangan jantung yang
sewaktu-waktu kapan saja bisa datang, dua hari sebelum ayah tiada, ia pernah
mengeluh sakit nyeri di bagian jantungnya, hal itu lah semakin membuat ku
yakin, ayah meninggal karena serangan jantung bukan karena guna-guna.
“Bang, kandu
di belikkan lilin, kembang api sama mercun sama ibu buat nanti malam” dengan
nada setengah berteriak adikku memanggil.
Hari ke 27 Ramadhan, dimana yang di percayai oleh
umat islam sebagai malam Lailatul qadar,
malam turunnya kitab Suci Al-qur’an, bagi
orang-orang tua, mereka akan banyak-banyak berzikir dan iktikaf[2]
di dalam masjid. Namun, bagi kami anak-anak, malam ke 27 ramadhan yang kami
sebut sebagai malam Lamle[3] adalah malam penuh kegembiaraan,
sehabis sholat traweh berjamaah, anak-anak akan berhamburan ke luar surau.
Sebagian yang masih berumuran sepuluh Tahun ke bawah akan menghidupkan lilin atau pun kembang
api, dan bagi yang berumuran sepertiku kala itu akan memainkan adu meriam bambu
antar kampung atau yang biasa kami sebut jalu
bambu[4]
pemenang dari Jalu bambu adalah
siapa yang masih bertahan semalam suntuk mengeluarkan detuman suara dari bambu
yang sudah disi oleh minyak tanah.
”Bu, mana baju
baru isran?”
“Nanti
iya, sabar aja, besok ibu belikkan”
Aku merengek sejadi-jadinya untuk dibelikkan baju
baru, agar tak malu memakai baju yang itu-itu saja saat hari raya tiba.
Ibu kini menjadi ibu rumah tangga merangkap kepala
keluarga, sejak ayah tiada ia lah yang mencari nafkah buat kami dengan mengayuh
mesin jahit tua hasil ngutang dari tetangga yang setiap bulannya harus dicicil
seadanya oleh ibu.
Ibu mengiyakan saja permintaanku, malam itu aku masih ingat hujan lebat sangat deras, malam Lamle yang sangat menyenangkan hilang sudah, bercahyakan lampu Teplok, aku dan-
adik ku satu-satunya tidur didekat ibu yang sedang menjahit, entah baju siapa yang ia jahit hingga larut malam, biasanya tak pernah selarut itu.
***
Hari
Raya Tiba
“Ini baju buat
mu ran, nanti di pakai ya?” Betapa bahagianya aku mendapatkan baju baru
dari ibu, bergegaslah aku membuka baju dan celana saat itu juga, aku ganti
dengan baju yang aku sangkakan ibu telah membelinya kemarin atau kapan, aku tak
perduli yang penting baju baru telah ada untuk di pakai hari ini hari kemenagan
seluruh Umat Islam.
Sesampainya di sana, semua orang telah ramai
nampaklah kawan-kawan SMP ku kala itu berjejer rapi di jalanan hendak menunggu
angkot yang akan mengantar mereka ke kota Kutacane.
Namun kenapa mereka tertawa melihatku? Apa yang
salah denganku, apakah tampangku sama halnya seperti badut? Sehingga mereka
tertawa terbahak-bahak seperti itu.
Aku tak tahan lagi dengan tawaan mereka, dengan
berlari sekencang-kencangnya aku pulang kerumah dan melepas pakaian baruku, aku
ceritakan semuanya padanya, namun ibu hanya terdiam saja melihat ceritaku, aku
pun tak mau mendengarkan komentarnya lagi, bergegaslah aku kekamar tanpa mau tau
kenapa aku di tertawakan oleh yang lain.
Dua puluh satu tahun, sepuluh tahun setelah peristiwa itu aku sangat terharu dan
mentertawakan diriku sendiri, dan barulah aku menyadari betapa bodohnya kala
itu, aku malu dengan baju baru pemberian ibuku, ternyata malam disaat hujan itu
ibu menjahitkan pesanan baju orang kaya, yang dari sisa baju itulah dibuatkan
oleh ibu yang dengan cerdiknya mengambil sedikit demi sedikit untuk di buatkan
baju baruku, pantaslah baju itu berlengan pontong, dan bercelana sepaha.
Semua itu aku tau setelah 5 Tahun ibu tiada, aku diberikan buku diari catatan ibu yang ke
halaman 120 terdapat cerita tentang aku.
Ahhg
Kalaulah
aku tau dari mana asal baju itu maka tak ada lagi kata malu yang hinggap di
hatikku kala itu, ibu aku tak perlu baju baru, yang aku butuh adalah dirimu.
[1] Begu
Ganjang (Bahasa Batak, Karo dan Alas) Untuk penyebutan Hantu yang memiliki
tubuh yang panjang penjaga harta, kebun-kebun dan sawah pemiliknya.
[2] Iktikaf
(Arab) Berdiam diri di dalam Masjid sembari melakukan ibadah-ibadah sunnah.
[3] Lam le
(Bahasa Alas, Gayo Blangkejeren) penyebutan malam ke 27 Ramadhan
[4] Jalu
Bambu (Bahasa Alas) laga bambu.
[1] Aboy
(Bahasa Alas) Kalimat tambahan seperti Alamak (Medan), Onde Mandeh
(Minangkabau).
[2] Kandu
(Bahasa Alas) Kata untuk “Kamu” kalimat sopan untuk orang lebih tua.
[3] Gegoh
(Bahasa Alas) Artinya Orang Kuat dan terpandang
Post a Comment for "Ibu, Aku Tak Ingin Baju Baru [Cerpen]"
Post a Comment
Give Us Your Feedback!