Rumah Kami di Simpang Surau [Cerpen]

Ilustrasi Credit: jeqweb.com


Gubahan: Riduwan Philly
               Dengan sedikit agak berlari, wajah penuh dengan gairah semangat, aku dekap dengan mesra sebuah benda berbentuk segi empat, yang sampul awal benda itu bermotifkan bunga, beralaskan warna hijau tua. 

            Aku mencoba memaksa kakiku agar lebih cepat sampai ke surau[1], teman-temanku sudah menunggu disana, padahal aku tau mana bisa aku berjalan lebih cepat, kakiku yang mungil ini hanya mampu melangkah seperempat dari langkah saudara-saudaraku yang lebih tua.

            Hari ini adalah hari pertamaku menduduki kelas Jiniyah[2], kelas dambaan anak-anak seusiaku. aku termasuk beruntung bisa masuk ke dalam kelas ini, padahal kalau dilihat dari umur, usiaku belum layak masuk ke kelas dulunya diisi oleh orang-orang terbaik seperti bang sutan, bang sidi dan kak sikumbang, mereka adalah jawara-jawara kampung dalam bidang MTQ kabupaten, kebanggaan kampung Tarandam[3]

            Semua teman-temanku memandang aneh dengaku yang hanya melewati kelas Juzz Amma mereka, biasanya akulah yang selalu tepat waktu memasuki kelas.


            Lihatlah wajah-wajah kebingungan mereka, mereka pasti iri denganku yang sudah bisa naik ke kelas Jiniyah tempat para senior menggali lebih dalam Al-qur’an” aku hanya senyum-senyum kecil dengan terus melewati mereka tanpa sedikitpun menyapa,dengan berbaju lusuh dan bersarawa[4] khas bekas tempelan dimana-mana aku memasuki kelas yang berada persis diatas surau kami.

            Rasanya baru kemarin aku diantarkan oleh ibuku pergi ke rumah ungku[5] yatim,untuk mengetes kemampuanku membaca iqra’. Dengan sangat terbata-bata aku membaca satu persatu huruf hijaiyah yang terdapat didalam sebuah buku kecil dengan warna hitam dominan dan di belakangnya terdapat sosok kakek tua berpeci dengan tongkat khasnya, aku sangat hapal betul raut wajah kakek itu dengan kaca mata jadulnya menghiasi setiap sore hariku.

            Emm Alah-alah[6] cukup, besok budin mulai mengaji ya, masuk di kelas iqra’ 3, paham?” kata ungku yatim yang sepertinya tidak puas dengan bacaanku.

            Aku hanya mengangguk saja perintah dari ungku yatim, orang yang kata ayahku adalah salah satu dari 4 keluarga yang mula-mula membuka perkampungan kami, kampung yang dulunya berupa rawa-rawa yang diberi secara Cuma-Cuma oleh penduduk asli di Kutacane.

            Karena tanahnya lebih rendah dari sungai yang mengaliri sepanjang perkampungan kami, jadilah setiap musim penghujan kampung kami digenangi oleh banjir yang ketinggiannya bisa mencapai sepinggul orang dewasa. Bahkan, dulu kata ibu sewaktu aku masih dalam ayunan, banjir terparah menerpa kampung kami, semua penduduk mengungsi ke rumah saudara di kampung sebelah, atau bagi yang tidak mempunyai saudara dikampung sebelah mengungsi ke surau berbentuk panggung bermaterial dari kayu, yang posisinya berada persis disimpang rumah kami, namun lucu bercampur miris, surau yang dianggap tempat yang lebih aman dan kokoh dari rumah malah begeser beberapa meter karena derasnya banjir menghantam rumah kami, dari kejadian itulah penduduk dikampung kami mulai bahu membahu untuk menganti material masjid dari kayu menjadi beton, agar kokoh jika banjir menerpa kembali sewaktu-waktu.

***

            Coba awak[7] budin, baca halaman 14....”  ustazah Soibah menyuruhku membaca kalamullah yang terdapat di dalam Al-qur’an baruku yang baru saja dibeli ibu sebagai hadiah aku berhasil masuk ke kelas Jiniyah.

            Tapi, mengapa semua orang sepertinya terus memperhatikanku, apa yang salah dengan bacaanku, aku tak peduli, malahan suaraku semakin keras saja tak menghiraukan pandangan senior-seniorku seperti apa. 

            Semakin keras suara yang aku keluarkan, sepertinya semakin tajam penuh kebingungan pula mata seisi ruangan kelas yang kalau dilihat ke luar arah selatan bisa langsung melihat rumah kami yang berada di simpang surau.

            Dengan tersipu bercampur malu aku menundukkan kepalaku, ternyata yang aku baca bukan surah halaman 14 melainkan halaman 15 maklum waktu itu umurku barulah sepuluh tahun, yang aku tau hanyalah angka biasa yang diajarkan di sekolah, angka arab  masih terasa asing di mataku.

            Tempat pengajian kami sekarang tak seramai dulu. Dulu, kelas-kelas yang juga merangkap sebagai sekolah dasar semuanya terisi penuh dari santri-santri yang tak hanya datang dari kampung kami bahkan dari kampung tetangga dan bahkan ada juga yang datang dari kecamatan lain , sampai keatas-atas surau kami yang sudah bertingkat dua pun terisi penuh, lantai dua itu hanya digunakan sekali-kali jika banjir besar menghantam kampung kami lagi.

            Tak ada yang tau pasti mengapa kejayaan tempat mengaji kami ini begitu saja runtuh, yang aku tau ada orang mengatakan sejak bang sutan, bang sidi, dan kak sikumbang tak lagi mengajar di tempat itu dan lebih memilih merantau ke pulau jawa, karena itu banyak orang-orang tua yang enggan menempatkan anaknya mengaji lagi ditempat kami, katanya ustadz-ustadz sekarang tak sebagus dulu, ada pula orang mengatakan bahwa semenjak ungku yatim tiada, tak ada lagi pimpinan yang dapat menjadi panutan di tempat pengajian.

            Jadilah hanya kami anak-anak kampung tarandam yang masih menggali ilmu disisa-sisa kejayaan tempat pengajian ini.

            Selain belajar mengaji, disini tak hanya kami diajari agar pandai membaca kalamullah, bagi anak laki-laki kami juga diajari seni ilmu bela diri, yang biasa kami sebut dengan berlatih silek harimau[8], mungkin itu adalah salah satunya mengapa aku masih tetap bertahan belajar mengaji disini, padahal sudah banyak tempat-tempat pengajian yang lebih modren dan ustadz-ustadznya pun juga tamatan dari pasantren ternama dari luar daerah.

            Ada satu kejadian lucu yang tak akan pernah aku lupakan, kala itu kami sedang berlatih seni bela diri setelah selesai sholat ashar, semua teman-temanku yang sebaya dengan serius melakukan Sparing[9] satu lawan satu, lalu tibalah giliranku untuk sparing dengan seorang anak laki-laki yang umurnya berada dua tahun diatasku, hampir delapan menit kami melakukan sparing, sampailah pada ketika aku hendak melakukan loncatan harimau sembari mengangkat tinggi kakiku, dengan harapan bisa mengenai badan dan menjatuhkannya, namun untung tak dapat diraih, serawak yang sudah lusuh dan bertempel-tempel tak mampu bertahan lebih lama lagi, maka terkoyaklah setengah serawak ku, ahhg betapa malunya aku kala itu semua orang mentertawakanku begitu pula dengan anak-anak perempuan yang sedang berlatih tari piring tak begitu jauh dari tempat kami berlatih silat, jadilah aku berlari sekencang-kencangnya menuju rumah, untuk sedikit menghilangkan rasa maluku.

***

            Kini umurku sudah menginjak dua puluh satu tahun, namun kenangan semasa kecil di tempat pengajian dua belas tahun yang lalu dan hari pertamaku masuk ke kelas jiniyah masih sangat segar diingatanku, hatiku masih membara jika mengingat tujuan awal dan mengapa aku bisa sampai dan bertahan menimba ilmu agama  ke kairo. 

            Dulu, setelah beberapa bulan aku dikelas jiniyah, santri-santri di tempat pengajian semakin hari semakin berkurang saja, kini orang-orangnya tinggal hitungan jari saja, dan latihan silek harimau pun kelasnya sudah dibubarkan oleh Ustadz Airi yang lebih memilih menjadi buruh tani di tanah karo.

            Hatiku yang berumur sepuluh tahun melihat kenyataan seperti itu hancur begitu saja, aku memutuskan untuk tidak lagi mengaji, dan lebih memilih untuk ikut les bahasa Inggris.

            Ayolah budin, budin sayang kan sama ibu, Mengaji lagi ya nak?” aku masih ingat kata-kata motivasi dari ibu untuk menyuruhku mengaji lagi.

            Tapi bu, guru-guru ngaji budin semuanya sudah nggak ada lagi di kampung....”

            “Nanti ibu panggilkan guru ngaji buat budin, yang penting budin tetap mengaji ya...!!”

            Aku sangat beruntung punya ibu yang sangat peduli dengan kebutuhanku yang tak hanya dunia namun juga akhirat ia fasilitasi, walaupun dulu aku tak mengerti untuk apa aku mengaji, berpindah-pindah tempat mengaji pula.

             Saat umurku beranjak sebelas tahun, aku mendapatkan guru mengaji yang sangat jadul sistem pengajarannya, tetapi entah mengapa itu semua sangat membuatku nyaman melaluinya, dengan rotan ditangan kiri dan Al’qur’an di tangan kanan ia selalu mengawasi ku, dia tak pernah mau jika aku menulis sebuah ayat untuk dihapal, yang ia mau aku mendengarkan dan menghapal apa yang ia ucapkan.

            Suatu hari, dimana mengubah hidupku sampai dengan usia sekarang, ustadz anas menjelaskan surah Alfatihah beserta artinya, ohh betapa indah makna dari arti ayat tersebut, hatiku begitu begetar mendengar artinya, ini betul-betul firman dari Allah, bukan buatan manusia. itulah alasan mengapa aku bisa sampai ke Kota Kairo.

            “Ahgg Tunggu sebentar, jangan dulu nagari mangimbau[10] dua tahun lagi, aku akan kembali, Insha Allah akan aku kembalikan kejayaan tempat mengaji Ungku yatim, nagari tarandam” Aku bergumam dalam hati diatas masjid kairo.




[1] Surau : Sebutan untuk meunasah di Ranah minang dan tanah melayu
[2] Jiniyah : Sebutan untuk kelas paling akhir dalam pengajian di nagari tarandam
[3] Nagari Tarandam : salah satu wilayah kampung (Kute) di Kutacane, Aceh Tenggara yang mayoritas penduduknya berasal dari ranah minang
[4] Sarawa :Celana/Kain sarung
[5] ungku : sebutan untuk orang yang sudah tua
[6] Alah : Sudah (Minangkabau)
[7] Awak : Kamu (Minangkabau)
[8] Silek Harimau ; kesenian bela diri silat
[9] Sparing : ujicoba latihan silat satu lawan satu
[10] Mangimbau :memanggil

Post a Comment for "Rumah Kami di Simpang Surau [Cerpen]"