Prosesi Pemamanan Suku Alas

Pemamanan C:jkma-aceh



Suku Alas adalah suku asli yang mendiami wilayah Kabupaten Aceh Tenggara, Provinsi Aceh, Indonesia. Mereka menyebut diri mereka dengan istilah “ukhang Alas” atau “kalak Alas” dan wilayah tempat tinggal mereka disebut “Tanoh Alas”

Kata “Alas” sendiri dipercayai berasal dari bahasa Gayo yang memiliki arti “tikar”, hal ini dilatarbelakangi dengan bentuk geografis “Tanoh Alas” yang membentang luas dan datar di tengah-tengah kaki gunung leuser dan bukit barisan. 

Mayoritas pekerjaan dari masyarakat Suku Alas adalah sebagai petani, pekebun, pengutip hasil hutan dan juga peternak.

Hewan ternak yang diternakkan oleh mereka adalah seperti kambing, ayam, bebek, angsa, kerbau, sapi, dan juga kuda. Konon, Kuda sendiri sudah lama di ternakkan oleh Masyarakat Suku Alas jauh sebelum kedatangan bangsa penjajah Belanda pimpinan Kolonel Van Daalen ke Tanoh Alas tahun 1904.

Kuda bagi adat Suku Alas sangat penting dan vital keberadaannya, berbeda dengan kuda yang ada di Gayo, umumnya kuda Gayo digunakan untuk pacuan kuda, membantu berladang atau bahkan dikonsumsi dagingnya, di Tanoh Alas penggunaan kuda hanya untuk kegiatan-kegiatan adat tertentu saja, seperti prosesi adat “pemamanan” (prosesi adat khitanan anak laki-laki).

Pengertian dan Peran Vital Sang Paman
 
Pemamanan sendiri dalam istilah erat kaitannya dengan kata "Paman" yakni laki-laki dari garis keturunan ibu (Red-Adik atau kakak ibu), yang mana jika kita artikan secara harfiah "Pemamanan" adalah sebuah tanggung jawab yang diberikan kepada sang paman untuk melaksanakan segala keperluan dalam prosesi khitanan sang keponakan baik dalam menyiapkan dana pesta, ketersedian kuda, dan bahkan segala keinginan yang diinginkan oleh sang ibu keponakan.

Biasanya, dalam mengumpulkan dana, paman tak akan sepenuhnya menanggung beban prosesi khitanan sang keponakan, paman akan membuat sebuah acara kenduri (Hajatan) dengan memanggil tetangga-tetangga sekampung atau saudara dekat lainnya, dan sang paman akan mengutarakan niat untuk melaksanakan prosesi pemamanan bagi keponakannya, maka masyarakat yang datang diminta membantu seikhlasnya agar prosesi khitanan dapat berjalan lancar, dalam kegiatan kenduri ini akan terlihat nampaknya rasa gotong royong diantara masyarakat sekitarnya yang terjalin erat.

Sekilas, tanggung jawab yang dinisbatkan kepada paman akan menjadi beban, baik beban ekonomi maupun beban moral. Beban bagi paman yang ekonominya menengah ke bawah, tidak tertutup kemungkinan ia akan berutang ke selingkar demi mengabulkan permintaan ibu keponakan. Di sinilah martabat paman sangat disanjung-saji.

Beban ekonomi sejalan dengan beban moral. Seorang paman yang tidak turut membantu tidak akan ditulis namanya di “buku keluarga” yang menggelar pesta. Berapa pun atau apa pun bentuk sumbangan si paman akan dicatat dalam “buku keluarga”. Di sini moral seorang paman dipertaruhkan. Biasanya, tidak ada paman yang tidak mau menyumbang, mengingat namanya akan dicatat di “buku keluarga” dan dibacakan dalam musyawarah keluarga.

Menurut orang setempat, perkara utang-piutang para paman selepas acara pemamanan sudah menjadi lumrah sejak dulu kala, sejak tradisi pemamanan mulai ada dalam masyarakat Alas. Hanya saja, bentuk pemberian paman berubah disesuaikan tuntutan zaman. Zaman dulu belum ada yang minta kulkas. Seorang paman hanya menyediakan kambing atau lembu. Sekarang, si paman kadang juga harus memberikan kulkas bahkan sepeda motor, tergantung apa yang diminta oleh ibu yang menikah. Singkatnya, paman adalah tulang punggung setiap keponakan.

Ada ubi ada talas, ada bagi ada balas, begitulah tradisi Alas mengatur semua. Dalam kearifan suku Alas, paman paling dimuliakan. Jika terdengar kabar paman akan berkunjung ke rumah keponakannya, keluarga keponakan sibuk mempersiapkan segala hal sambutan bagi si paman. Semua isi dapur, segala isi karung, segenap isi rumah akan ‘dikeluarkan’ untuk penyambutan paman. Paman lebih dimuliakan daripada pakcik (adik ayah). Tentu saja hal ini bentuk berbalasan dari pemamanan.

Tradisi Alas juga mengenal peninian, yakni pelimpahan tanggung jawab kepada saudara mamak dari ibu yang anaknya akan melangsukan pesta. Artinya, kakek/nenek si anak dari sebelah ibu. Jika seorang anak tidak memiliki paman, tanggung jawab pesta dibebankan dalam peninian. Jika paman masih ada, acara pemamanan akan berlangsung beriringan dengan peninian

Kendati tugas paman terkesan berat, hal ini sudah menjadi tradisi yang dipegang erat oleh suku Alas. Timbang rasa berlaku bagi paman yang bukan suku Alas. Misalnya, seorang perempuan suku Aceh menikah dengan lelaki suku Alas. Si perempuan punya saudara laki-laki, tentu si lelaki menjadi paman. Paman yang seperti ini tidak dituntut pemamanan selayaknya paman yang benar-benar suku Alas.

Pemamanan hanya diutamakan kepada paman yang suku Alas. Ada garis keturunan yang dicermati, apakah dia turunan asli Alas atau pendatang. Artinya, paman yang bukan suku Alas asli, masih ada keringanan. Di sinilah kearifan pemamanan berlaku [1].

Prosesi Acara Pemamanan
 
Bagi anak laki-laki muslim yang mau mencapai akil baligh (dewasa), diwajibkan baginya untuk dikhitan terlebih dahulu. Uniknya, sebelum prosesi khitanan ini berlangsung, masyarakat Suku Alas yang beragama Islam yang taat mewajibkan sang anak terlebih dahulu diarak satu kampung atau bahkan ada yang mempraktekkan mengarak sang anak sampai empat atau lima kampung sekaligus dengan menggunakan kuda, hal ini didasari agar semua sanak famili yang berada diluar kampung tempat tinggal sang anak dapat juga melihat sang anak menaiki kuda tanda sang anak sudah siap untuk di khitan.

Kegiatan unik ini biasanya dilakukan pada saat bulan baik menurut agama Islam dan juga menyesuaikan jadwal sekolah sang anak seperti liburan semester sekolah.

Sebelum diarak menaiki kuda, pagi harinya sang Anak lelaki  terlebih dahulu di peusijuk atau dalam bahasa Melayu dikenal dengan istilah tepung tawar oleh ulama setempat dengan do’a-do’a yang baik bagi kesehatan dan masa depan sang anak kelak.

Setelah prosesi Peusijuk selesai, siang harinya diadakan acara mangan alak atau makan bersama-sama saling berhadap-hadapan satu sama lain oleh seluruh keluarga besar sang anak dan juga tetangga dari keluarga sang anak, hal ini bertujuan agar mempererat tali silahturahmi antar keluarga besar yang jarang berjumpa satu sama lain dan juga dengan masyarakat sekitarnya.

Saat prosesi mangan alak, berlangsung, sang paman sebagaimana  dijelaskan diatas adalah penanggung jawab penuh segala kegiatan prosesi pemamanan sudah sibuk mengurus acara puncak khitanan sang keponakan, menurut adat suku Alas, sebagaimana yang dijelaskan diawal tulisan, kuda yang dinaiki oleh keponakan adalah kewajiban dari sang Paman.

Barulah apabila sang paman, sudah merasa semuanya terpenuhi maka acara pemamanan dilaksanakan saat itu juga selepas prosesi mangan alak. sang anak yang memakai baju mesirat (baju adat alas) lengkap dengan inai ditangan dan kakinya diarak menaiki kuda bersama kedua orang tua dan keluarga dekat mereka.
Usai arak-arakan tersebut usai, biasanya selesai sebelum ba'da maghrib mengumandang, sang paman mulai sibuk lagi menyiapkan puncak khitanan sang keponakan.

Khitanan umumnya dilakukan selepas ba’da isya, yang dilakukan di halaman rumah oleh matri sunat atau dokter yang berwenang.

Khitanan sendiri harus disaksikan oleh keluarga inti. Pada saat sang anak akan di khitan sang Ibu beserta 2 orang bibi mereka harus merendam tangan ke air yang ditempatkan di dalam baskom [2]. Air tersebut diberi perasan jeruk purut. Mereka tidak boleh mengangkat tangan hingga proses khitan selesai. Hal tersebut diyakini agar sang anak yang dikhitan tidak merasakan rasa sakit yang amat parah.

Setelah sang matri sunat atau dokter yang berwenang selesai melakukan tugasnya, sang anak akan dipindahkan ke dalam rumah dan ditidurkan diatas tilam dengan kelambu terbuat dari motif sirat Alas, dan selama beberapa hari sang anak akan dijaga oleh keluarga sang ayah dan ibu.

Lamanya prosesi pemamanan ini tergantung keadaan ekonomi dari sang paman, jika sang paman memiliki ekonomi yang baik bisa jadi acara sebelum hari puncak pemamanan mencapai tujuh hari tujuh malam.

Refrensi:

  1. http://www.jkma-aceh.org/tradisi-pemamanan-dari-alas/
  2. http://setiadisejati.blogspot.co.id/2012/07/tradisi-khitan-masyarakat-alas-kutacane.html


Post a Comment for "Prosesi Pemamanan Suku Alas"