Sebelum Merantau, Tahapan-Tahapan ini yang Harus di Lewati Lelaki Minang
![]() |
Credit: Google |
AEFARLAVA (13 Februari 2017) Watak dan kebiasaan masyarakat Minangkabau
terbangun melalui berbagai proses transformasi nilai dan pengetahuan.
Masyarakat Minangkabau telah menciptakan beberapa tempat sebagai wadah
transformasi nilai, ilmu, pengetahuan dan pengalaman secara turun temurun.
Tempat-tempat itu antara lain; rumah adat (rumah
gadang) sekarang sudah beralih ke dalam rumah pribadi-pribadi, surau (Mushola)
dan lapau (Warung Kopi). Di rumah gadang terjadi transformasi nilai dari mamak
(Paman) kepada kemenakan. Di surau dari guru kepada murid dan di lapau antara
anggota masyarakat nagari (Kampung).
Selanjutnya ada lagi tempat yang disebut rantau
untuk menguji segala nilai dan pengetahuan yang telah diperolah di tiga tempat
di atas. Rantau diibaratkan sekolah lapangan bagi anak-anak Minangkabau
khususnya anak-anak lelaki yang sudah dewasa.
Kalau dikaji lebih jauh ketiga tempat tersebut
memiliki arti yang sangat penting dalam perkembangan lelaki Minang. Ketiga
tempat tersebut menjadi tempat latihan dalam kehidupan sehari-hari orang
Minang, terutama di masa lalu.[1]
Sebelum anak lelaki Minang yang mau beranjak
dewasa/akil balik di lepas ke wilayah yang luas dan belum dikenal untuk
meneruskan takdir generasi-generasi tua terdahulu yang sudah lebih dahulu
melakukan tradisi merantau, anak-anak Minang akan ditempah terlebih dahulu
dalam beberapa tahapan atau kalau dalam istilah dewasa ini sering disebut juga
dengan kata pengkaderan, tujuannya tak lain adalah untuk memberikan bekal sebanyak-banyaknya
terhadap sang anak, jika kelak ia sudah berada dirantau, dia masih memiliki
pedoman hidup, akidah yang kuat, kemampuan membela diri dan ilmu pengetahuan
dunia yang sangat bermanfaat baginya kelak salain untuk dapat mengisi perut dan
dompetnya, kemampuan itu akan mempermudahnya mendapatkan kedudukan di
lingkungan masyarakat barunya.
Pada tahap pertama anak laki-laki Minang akan
mendapatkan pelajaran pertamanya tentang sopan-santun, tata krama, dan etika
dalam berbicara baik dengan orang yang lebih tua, sebaya maupun yang lebih
muda, dulu, semua hal tentang dasar-dasar kehidupan itu didapat di dalam Rumah
Gadang, yang mana rumah gadang memiliki fungsi dalam proses pewarisan
adat kepada anak kemanakan oleh mamak (paman), namun dewasa ini dengan seiring
zaman rumah gadang sudah mulai ditinggali dan sudah beralih pada rumah-rumah
pribadi dan jadilah orang tua yang hanya memberikan pengaruh besar terhadap
anak untuk pertama sekali akan etika, sopan santu, dan budi pekerti.
Dulunya Niniak mamak (Tetua adat) dan para mamak
(paman) mewariskan segala tradisi dan pengetahuan tentang adat dan kehidupan
kepada kemenakan melalui berbagai prosesi dan latihan.
Semua itu diatur sesuai dengan undang dan norma
serta berlangsung sesuai dengan struktur adat tersebut. Rumah Gadang juga telah
jadi tempat mengasah kemampuan berdialog, berdiplomasi dan beretorika kaum
lelaki Minang. Latihan ini dalam bentuk ‘pasambahan’ dalam setiap prosesi
dan perhelatan dalam suatu kaum, baik perempuan maupun laki-laki diberikan hak
yang sama untuk dapat berbicara dan mengutarakan pikirannya, hal ini yang membuat
banyak ditemukan anak-anak prempuan Minang yang berani tampil dan percaya diri
untuk bersaing dengan kaum lelaki baik itu dalam bidang sekolah, organisasi
maupun kepemimpinan dikarenakan sedari kecil mereka telah diberikan hak dan
kepercayaan untuk dapat mengutarakan pendapatnnya tanpa memandang gendernya,
itu terjadi bisa juga dikarenakan sistem matrilineal yang dianut oleh Bangsa
Minang.
Pada tahap selanjutnya ketika sang anak sudah
dapat berbicara dan sudah pandai mengeja/membaca, namun tak jarang jika sudah
pandai berbicara tanpa mengetahui huruf alpabet sang anak lelaki maupun
perempuan akan dibawa ke surau untuk mengaji, di surau mereka tak hanya
diajarkan huruf-huruf hijaiyah atau bagi yang sudah agak besar membaca
kalammullah, bagi anak laki-laki juga diajarkan ilmu bela diri atau biasa
disebut Silek Harimau (silat harimau), saya juga dulunya diwaktu masih mengaji
di surau Alhamdulillah masih mendapatkan pelajaran ilmu bela diri ini sampai saya khatam
Al-qur’an namun sayangnya setelah generasi saya selesai pada saat generasi 2
tahun dibawah saya sudah tidak mendapatkan lagi seni bela diri leluhur mereka. Dan
khusus bagi kaum wanita mereka akan diajarkan kesenian seperti menari dan
keterampilan lainnya yang khusus untuk wanita. Dan yang unik juga apabila sang
anak sudah mulai mengaji khususnya bagi anak laki-laki tidak akan pulang lagi
ke rumah orang tuanya, hampir keseluruhan hidup mereka berpusat di sekitaran
surau, mereka akan bermain dan tidur disurau terkecuali pada saat makan mereka
akan pulang ke rumahnya masing-masing, hal ini berlaku juga pada saya namun
tidak sampai lama, hanya berlaku satu tahun, saya pun disuruh untuk tidur
dirumah saja, mungkin zaman sudah mulai berubah, dan kebanyakan orang-orang tua
sekarang sudah tidak lagi mengikuti tradisi bagi anak laki-laki tidur disurau.
Tahap selanjutnya setalah sang anak lelaki Minang
sudah tumbuh remaja mereka akan mengenal yang namanya Lapau sebagai tempat lalu
lintas informasi dan pengetahuan. Oleh karena itu pergi ke lapau merupakan
salah satu kebiasaan hidup kaum lelaki Minangkabau untuk mendapatkan informasi
dan pengetahuan.
Biasanya setelah sholat subuh di masjid atau
surau mereka singgah di lapau untuk sarapan pagi atau kalau dalam istilah yang
biasa dipakai “minum pagi”.
Kegiatan ini dilakukan sambil menunggu pagi untuk
kemudian pergi bekerja ke sawah atau ke ladang dan juga sore dan malam hari.
Sambil minum kopi atau teh dengan sedikit penganan seperti goreng pisang atau
kue-kue lainnya, para lelaki di lapau saling menyapa dan bercerita.
Lapau telah menjadi tempat pertemuan antara
anggota masyarakat untuk memperbincangkan berbagai persoalan kehidupan. Mulai
dari perbincangan tentang persoalan sosial, ekonomi, budaya atau adat istiadat
hingga politik. Bahkan isu dan masalah internasional dibahas di
lapau-lapau.
Keberhasilan orang-orang rantau dalam berdagang
atau dalam karir juga tak luput dari pembahasan di lapau. Ketika para perantau
Minang pulang ke kampung, biasanya mereka juga menyempatkan diri untuk pergi ke
lapau mendengar informasi tentang perkembangan kampung halaman.
Tentu akan menjadi pertanyaan penyebab timbul
kebiasaan ke lapau pagi, sore dan malam hari pada sebagian lelaki Minangkabau.
Keadaan ini berpangkal dari pola pengasuhan anak lelaki Minangkabau.
Pada masa lalu, anak laki-laki dipandang kurang
tepat selalu berada di dalam rumah keluarganya. Lelaki yang biasa tinggal di
dalam rumah cenderung dinilai kurang bagus dalam pergaulan masyarakat.
Pandangan ini muncul akibat pengaruh dari pola
matrilineal masyarakat Minangkabau yang mewariskan rumah kepada anak perempuan.
Anak lelaki Minangkabau sejak dari kecil dikontruksikan untuk terlepas dari
rumah keluarga ibunya.
Karena faktor keadaan tersebut, proses pembinaan
kemampuan berinteraksi dan bersosialisasi bagi remaja dan pemuda Minangkabau
selanjutnya terjadi di lapau-lapau. Konstruksi ini juga menjadikan anak
laki-laki di Minangkabau cepat mandiri dan mampu beradaptasi dengan masyarakat
di sekitarnya.
Secara tidak langsung lapau telah menjadi sekolah
bagi kaum lelaki Minangkabau. Begitu juga dengan Surau jadi tempat pertama
lelaki Minang mengenal peradaban. Dengan kedua bekal ini, perantauan tidak lagi
jadi tanah yang asing. Mereka jadi orang-orang yang berguna di negeri orang.
[1]
http://ranah.id/lelaki-minang-itu-seharusnya-beradab-di-surau-belajar-di-lapau-dan-berguna-di-rantau/
Post a Comment for "Sebelum Merantau, Tahapan-Tahapan ini yang Harus di Lewati Lelaki Minang"
Post a Comment
Give Us Your Feedback!